SEJARAH
Pendidikan
Luar Sekolah (PLS)
merupakan salah satu jenis pendidikan
yang diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan non formal yang bukan pendidikan formal dan informal.
Secara sederhana, PLS muncul sebagai
penunjang pendidikan formal yang
sudah terselenggara, yang dirasa belum mampu secara maksimal menghasilkan
lulusan yang sesuai dengan kebutuhan ril dunia kerja dan kehidupan sosial
masyarakat selama ini. Dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 26 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Pendidikan
non formal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.”
Pada ayat (2) dijelaskan, “Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional.” Sementara di ayat (3),
disebutkan bahwa,
“Pendidikan
non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Lalu ayat (4) menjelaskan
bahwa, “Pelaksanaan satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis.”
Terbentuknya Pendidikan Luar Sekolah
(PLS) ditentukan oleh beberapa aspek,
diantaranya:
a.
Aspek pelestarian budaya
Pendidikan
yang pertama dan utama adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di
lingkungan keluarga dimana (melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan)
ayah dan ibunya bertindak sebagai pendidik. Dengan demikian PLS pada permulaan kehadirannya sangat
dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung di dalam keluarga.
Di
dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan anak, atau antar anak
dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai dan
kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan pembimbingan. Pada dasarnya
semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik.
Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di lingkungan keluarga dilakukan untuk
melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun.
Tujuan
kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis di masyarakat dan untuk
meneruskan warisan budaya yang meliputi kemampuan, cara kerja dan Teknologi
yang dimiliki oleh masyarakat dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah terjadi proses-proses pendidikan,
walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan sistem pendidikan sekolah. Kegiatan
belajar-membelajarkan yang asli inilah yang termasuk ke dalam kategori
pendidikan tradisional yang kemudian menjadi pendidikan luar sekolah.
b. Aspek
teoritis
Salah
satu dasar pijakan teoritis keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan
Philip H. Cooms (1973), tidak satupun lembaga pendidikan: formal, informal
maupun nonformal yang mampu secara sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan
belajar minimum yang esensial.
Atas
dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya
penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi
masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan
sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil
belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
c. Aspek dasar pijakan
Kalau dirunut sejak awal muncul, ada
tiga dasar pijakan bagi PLS sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
dan Peraturan Pemerintah RI No.73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah (PLS).
Melalui
ketiga dasar di atas dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang
menghimpun dari dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk
mengikuti program pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka
mencapai tujuan belajar.
Adapun
bentuk-bentuk satuan PLS, sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun 1989
pasal 9 : 3
meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan
sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain, penitipan anak,
padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.
d. Aspek
kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran
masyarakat terhadap pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan,
melainkan masyarakat daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul
terutama karena perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik.
Kesadaran juga tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan,
keterbelakangan atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki
suatu keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan
inilah sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang
bersifat persekolahan ataupun di luar persekolahan.
e.
Aspek
keterbatasan
lembaga pendidikan sekolah
Lembaga
pendidikan sekolah yang jumlahnya semakin banyak bersifat formal atau resmi
yang dibatasi oleh ruang dan waktu serta kurikulum yang baku dan kaku serta
berbagai keterbatasan lainnya. Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah
yang ada di daerah terpencilpun yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat
setempat, apalagi memenuhi semua harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari
kekurangan atau keterbatasan itulah yang memungkinkan suatu kegiatan
kependidikan yang bersifat informal atau nonformal diselenggarakan, sehingga
melalui kedua bentuk pendidikan itu kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
2. Faktor Pendukung Perkembangan PLS
Dalam
dunia pendidikan terjadi beberapa perkembangan yang disebabkan oleh era
globalisasi dan teknologi, banyak sekolah di era sekarang ini yan berbasis
teknologi. Jauh-jauh hari anak sudah dikenalkan dengan teknologi. Hal itu untuk
mendukung pencetakan generasi muda yang berkualitas. Selain pendidikan formal,
kita juga mengenal pedidikan non formal (luar sekolah).
PLS
sangatlah penting adanya untuk solusi terhadap anak-anak yang kurang mampu,
putus sekolah, ataupun yang harus bekerja membantu orang tuanya. Sedangkan PLS ditopang oleh 3 faktor :
Pertama, para praktisi di masyarakat
Penyelenggaraan
pendidikan di masyarakat yang dilakukan oleh para praktisi di dorong oleh
hasrat dan rasa pengabdian mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
bangsa terhadap pendidikan. Para praktisi dalam masyarakat adalah para pemuda
terdidik, pemuka masyarakat, pemimpin organisasi, guru-guru sekolah dan tenaga
sukarela lainnya.
Program
PLS yang dilakukan oleh para praktisi ini sering dikaitkan dengan gerakan
pembangunan masyarakat. Program pendidikan ini bermacam ragam jenisnya, antara
lain : pendidikan orang dewasa, pemberantasan buta huruf fungsional, pendidikan
perluasan, latihan keterampilan pertanian, latihan kader koprasi, pendidikan
kependudukan, keluarga berencana, pendidikan gizi keluarga, latihan
keterampilan produktif, pendidikan kewanitaan, kerumah tanggaan, pendidikan dan
latihan kepemudaan, organisasi pemuda, dan latihan kader pembangunan
masyarakat.
Program kemasyarakatan ini lebih mengutamakan kepentingan praktisi yaitu untuk
memenuhi kebutuhan belajar atau kebutuhan kependidikan yang dirasakan oleh
masyarakat yang sedang membangun.
Pendekatan
yang dilakukan oleh para praktisi didasarkan atas suatu pandangan bahwa
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu merupakan bagian penting dan
sebagai pendekatan dasar dalam pembangunan, PLS mempunyai fungsi untuk
mengembangkan sumber daya manusia yang jadi pelaku utama dalam berbagai sektor
pembangunan.
PLS
mempunyai peranan untuk membantu sekolah dan masyarakat dalam upaya pemecahan
masalah, PLS
adalah sebagai pelngkap, penambah, dan pengganti pendidikan sekolah.
a.
Sebagai pelengkap pendidikan sekolah
Pelengkap
(complementary
education), PLS dapat menyajikan
beberapa mata pelajaran atau kegiatan pelajar yang belum termuat dalam
kurikulum pendidikan sekolah, sedangkan materi pelajaran atau kegiatan tersebut
sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat yang menjadi layanan
sekolah.
b.
PLS sebagai penambah pendidikan sekolah
Penambah
(suplementary
education), PLS dapat memberi
kesempatan tambahan, pengalaman belajar dalam mata peljaran yang sama yang
ditempuh sekolah kepada mereka yang masih bersekolah atau mereka yang telah
menamatkan jenjang pendidikan sekolah.
c.
Sebagai pengganti pendidikan sekolah
Pengganti
(substitute
education), PLS dapat menggantikan
fungsi sekolah di daerah-daerah yang karena berbagai alasan, penduduknya belum
terjangkau oleh pendiidkan sekolah.
Kedua,
berkembangnya kritik
terhadap pendidikan sekolah
Faktor
kedua yang mendorong perkembangan pendidikan luar sekolah adalah munculnya
berbagai kritik terhadap kelemahan pendidikan sekolah serta akibat lain yang
ditimbulkan oleh jalur pendiidkan itu. Kritik terhadap pendidikan sekolah ini
mulai berkembang dalam dunia pendidikan pada tahun 60 an.
Contoh
penyebab kelmahan pendidikan sekolah ada 4 yaitu :
1)
Sebagai akibat pertambahan penduduk yang
semakinpesat, maka keinginan masyarakat untuk memperoleh pendidikan semakin
meningkat sehingga beban yang dipikul oleh pendidikan sekolah semakin berat.
2)
Sumber-sumber yang digunakan untuk
pendidikan kurang memadai sehingga pendidikan sekolah mengalami hambatan untuk
merespon secara tepat terhadap kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
3)
Kelambatan sistem pendidikan sekolah
untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di luar pendidikan.
4)
Kelambanan masyarakat itu sendiri dalam
memanfaatkan lembaga dan lulusan pendidikan sekolah sehingga jurang perbedaan
antara jumlah dan kemampuan para lulusan dengan lapangan kerja semakin melebar.
Pada
umumnya sejumlah praktisi dan pakar pendidikan melontarkan kritk terhadap pendiidkan
sekolah setelah menganalisisnya dari berbagai segi.
Pakar pendidikan yaitu Bruner (1966) mengemukakan asumsinya bahwa proses
pembelajaran pengetahuan (kognitif learning) akan berjalan dan berhasil
dengan baik apabila di dasarkan atas tiga hal :
1.
Adanya dorongan yang tumbuh dari dalam peserta
didik.
2.
Adanya kebebasan peserta didik untuk
memilih dan bebuat dalam kegiatan belajar.
3.
Peserta didik tidak merasa terikat oleh
pengaruh ganjaran dan hukuman yang datang dari luar dirinya yaitu guru.
Gejala-gejala
yang menunjukan adanya krisis pendidikan sekolah adalah :
1.
Ketidakcocokan antara kurikulum dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan nyata peserta didik.
2.
Ketidaksesuaian antara pendidikan dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat.
3.
Ketidak seimbangan yang terus menerus
anatra pendidikan dan dunia kerja.
4.
Ketidakmapanan lembaga pendidikan
sekolah untuk mmeberi kesempatan pemerataan pendidikan bagi segi semua kelompok
di masyarakat.
5.
Meningkatkan biaya penyelenggaraan
pendidikan yang tidak diimbangi oleh kemampuan negara terutama negara
berkembang untuk membiayainya.
Ketiga,
para perencana
pendidikan untuk pembangunan
Upaya
para perencana tersebut telah dimulai sejak tahun 60 an bersamaan dengan
munculnya berbagai kritik terhadap kelemahan-kelemahan yang di derita oleh
pendidikan sekolah.
Para
perenacana pendidikan untuk pembangunan sangat dipengaruhi oleh sejumlah
laporan penelitina dan karya ilmiah lainnya yang dihasilkan oleh berbagai
lembaga atau badan-badan internasional.
a. Masalah pendidikan di negara yang
sedang berkembang
Commbes
(1963) dalam konferensi internasional menulis sebuah laporan dengan judul “The world education a system
analysis” yang artinya membahas permasalahan pendidikan
sekolah yang dihadapi oleh negara berkembang. Masalah
yang dihadapi oleh negara berkembang anatra lain adalah banyaknya jumlah
penduduk sehingga memunculkan 5 masalah pendidikan :
a)
Anak usia pra sekolah yang banyak
jumlahnya.
b)
Banyaknya usia anak sekolah dasar yang
tidak tertampung oleh lembaga pendidikan sekolah yang ada.
c)
Besarnya jumlah orang dewasa yang tidak
mempunyai kesempatan mengikuti pendidikan sekolah.
d)
Banyaknya anak putus sekolah.
e)
Besarnya jumlah lulusan suatu jenjang
pendidikan sekolah ynag tidak menlanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.